Selasa, 12 Juli 2011

Berinteraksi Tanpa Terkontaminasi


Manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang jelas dan pasti. Misi yang merupakan tujuan asasi di mana ia diciptakan di atasnya. Ada tiga misi yang bersifat given (‘atha’ rabbani) yang diemban manusia; yaitu misi utama untuk beribadah (Adz-Dzariyat: 56), misi fungsional sebagai khalifah (Al-Baqarah: 30) dan misi operasional untuk memakmurkan bumi (Hud: 61). Namun keberlangsungan dan kelestarian misi ini secara benar apabila manusia mau mendengar dan mentaati risalah yang di bawa para Rasul. Hanya saja tidak semua manusia mengikuti dan menerima seruan mereka, bahkan sebagian besar dari manusia ini mendustakan dan mengingkari risalah Ilahiyah yang dibawanya. Allah berfirman;
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)
Maka, manusia yang mampu menerjemahkan tiga misi tersebut ke dalam bahasa lisan, tindakan dan sikap adalah manusia yang beriman kepada Allah SWT. Manusia yang senantiasa merespon seruan dan khithab rabbani dengan hanya mengucapkan kalimat ini; “sami’naa wa atho’naa”. Inilah syi’ar kehidupan manusia qur’ani dan rabbani. Hamba-hamba Allah yang akan dijanjikan kepada mereka “istikhlaf” di bumi-Nya. Allah berfirman;
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Berdasarkan ayat di atas bisa kita konklusikan bahwa umat Islamlah yang diberi beban amanah Ilahiyah dan yang sanggup mengimplementasikannya ke dalam seluruh dimensi kehidupan. Maka umat Islamlah yang seharusnya memimpin dunia, yang berkewajiban mengajarkan manusia tentang system ilahiah dan membimbingnya untuk melakukan islamisasi dalam kehidupannya secara totalitas sehingga mereka benar-benar bisa keluar dari kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam. Renungkan apa yang telah dikatakan seorang jundi, Rib’i bin Amir kepada Rustum, panglima Persia dalam perang Qadisiyah, ketika ia bertanya:“Gerangan apa yang membuat Anda datang ke negeri kami?”, lalu ia menjawab dengan kalimat ini;
“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia yang dikehendaki-Nya dari penghambaan hamba menuju pengabdian kepada Allah semata, dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat dan dari kezhaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”
Oleh karenanya, tugas ini bukanlah tugas yang ringan dan juz-iyah (parsial) atau sampingan tanpa dibarengi dengan usaha-usaha maksimal. Akan tetapi tugas atau dakwah ini merupakan urusan yang besar nan agung, urusan yang berkaitan dengan pembentukan syakshiah islamiyah, kelestarian system-sistem Ilahiyah dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Sayyid Quthb mengatakan, “Barangsiapa menganggap ringan kewajiban (dakwah) ini, padahal ia merupakan kewajiban yang dapat mematahkan tulang punggung dan membuat orang gemetar, maka ia tidak bisa melaksanakan secara kontinyu kecuali atas pertolongan Allah. Ia tidak akan bisa memikul dakwah kecuali atas bantuan Allah SWT dan tidak akan bisa teguh di atasnya kecuali dengan keikhlasan pada-Nya. Orang yang berada di jalan ini siangnya berpuasa, malamnya qiyam (shalat) dan ucapannya penuh dengan dzikir. Sungguh hidup dan matinya hanya untuk Allah Rabbal Alamin, yang tiada sekutu bagi-Nya.” (Tafsir Fii Zhilaalil Qur’an, Sayyid Quthb)
Dan untuk mensukseskan amanat yang agung ini perlu dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki iman yang kuat, keikhlasan, hamasah yang membara dan tadhhiyat serta amal yang mustamir (kontinyu). Sehingga nilai-nilai kebenaran Islam yang termuat dalam gerbong dakwah benar-benar terealisir dan bisa dirasakan oleh semua manusia. Al-Imam asy-Syahid Hasan al-Banna dalam “risalat ilaa asy-syabab” berkata, “Sungguh fikrah ini bisa sukses apabila ada iman yang kuat, keikhlasan yang penuh di jalannya, hamasah yang membara dan adanya persiapan yang melahirkan tadhhiat dan amal untuk merealisasikannya. Dan hampir-hampir empat pilar ini (iman, ikhlas, hamasah dan amal) merupakan karakteristik bagi para pemuda. Karena dasar keimanan adalah hati yang cerdas, dasar keikhlasan adalah nurani yang suci, dasar hamasah adalah syu’ur yang kuat dan dasar amal adalah ‘azm yang menggelora.”
URGENSI BERDAKWAH
Berdakwah yang bertujuan dan berorientasi kepada perbaikan individu muslim, pembentukan keluarga muslim, pembinaan masyarakat Islam, pembebasan tanah air dari hegemoni asing, perbaikan pemerintah agar menjadi pemerintahan Islam yang senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat dan menjadi “ustadziatul ‘alaam” (soko guru dunia) merupakan risalah para Nabi dan Rasul. Di mana setiap Nabi berkewajiban mendakwahkan apa-apa yang telah diterima sebagai wahyu dari Allah kepada umatnya. Ia harus menyampaikan risalah Ilahiyah ini dengan penuh amanah, kejujuran, kecerdasan dan kesabaran di tengah masyarakatnya. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (Al-Ahzab: 45-46)
Berdakwah juga merupakan kewajiban syar’i yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam berdasarkan beberapa dalil berikut ini:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran: 104)
Ayat ini secara jelas menunjukkan wajibnya berdakwah, karena ada “lam amr” di kalimat “wal takun”. Begitu juga Rasulullah SAW bersabda, “Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat.” Hadits ini secara eksplisit mengisyaratkan bahwa setiap muslim harus menyampaikan apa-apa yang telah di bawa Rasulullah Saw kepada seluruh manusia, walaupun hanya satu ayat ataupun satu hadits.
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (Al-Maidah: 63)
Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata, “Tidak ada di dalam Al-Quran suatu ayat yang lebih keras mengolok-olok daripada ayat ini.” (Tafsir Ibnu Jarir). Sedangkan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Ali bin Abi Thalib pernah berkhotbah, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, ia berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum kamu itu hancur disebabkan mereka berbuat maksiat sedangkan orang-orang alim dan para pendeta mereka tidak melarangnya sampai akhirnya ditimpa siksa di saat mereka terus menerus asyik dalam kemaksiatannya. Oleh karena itu, perintahkanlah mereka untuk berbuat makruf dan cegahlah mereka dari kemungkaran sebelum turun kepada adzab seperti yang turun kepada mereka. Ketahuilah bahwasanya amar makruf dan nahi mungkar itu tidak akan memutuskan rezki dan tidak pula mendekatkan ajal.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/74)

Berkaitan dengan masalah ini, Allah juga menggambarkan fenomena masyarakat mukmin yang selalu melakukan taawun dan amar ma’ruf nahi munkar di antara mereka. Allah berfirman;
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
Sebagaimana dakwah itu merupakan kewajiban syar’i, ia juga merupakan kebutuhan masyarakat. Karena dengan dakwah, masyarakat mampu memahami nilai-nilai kebenaran Islam, mampu membedakan antara yang hak dan yang batil dan akhirnya mereka bisa mengaplikasikan ajaran Islam ini lewat sentuhan lembut tangan para dai yang bijak, para penunjuk jalan yang tegar dan para muballigh yang sabar. Dakwah merupakan muara segala kebaikan, benteng penangkal siksa dan escalator yang menghantarkan doa para hamba. Mi’raj kepada Rabbnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Demi Dzat yang mana jiwaku ada pada Tangan-Nya, sungguh kamu harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar atau Allah akan menimpakan kepada kamu adzab, kemudian kamu berdoa maka doa itu tidak akan dikabulkan.” (H.R. Tirmidzi, hadits hasan)
Jadi, jelaslah bahwasanya setiap muslim yang sadar dengan identitasnya, ia harus berpartisipasi dalam mengemban amanah dakwah ini. Apalagi kita sebagai pemuda atau orang tua yang berjiwa muda, ia harus dinamis membangun jaringan dakwah dan pro aktif untuk ikut memperbaiki masyarakatnya. Imam Syafi’i dalam antologi puisinya berkata:
“Siapa yang tidak mau ta’lim (dakwah/membina) pada masa mudanya, maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena ia telah (mati sebelum ia mati).”
Begitu juga Imam asy-Syahid Hasan al-Banna menginginkan manusia-manusia yang kuat dari kalangan pemuda atau orang tua yang berjiwa muda saja dalam mengemban amanah dakwah yang berat ini. Maka dalam risalah “dakwatunaa fii thaurin jadid” beliau berkata:
“Kami menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan tegar. Hati-hati yang baru nan berkibar-kibar. Emosi-emosi yang membara nan menggelora dan ruh-ruh yang memiliki thumuhat, obsesi ke depan jauh yang merenungkan teladan dan tujuan-tujuan yang mulia.”
Maka Setiap ucapan, gerak dan tindakan seorang akh yang telah bergabung dalam dakwah ini harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai Islam dan harus mampu menjadi pesona Islam di tengah-tengah masyarakatnya. Wallahu a’lam bis Shawab.

Minggu, 03 Juli 2011

Mencari Identitas Pers Mahasiswa

Jauh sebelum era reformasi, media massa sudah memiliki karakter keragaman. Setiap harinya, masyarakat senantiasa mendapatkan informasi baik isu tentang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, seni, gosip, lingkungan, kesehatan, dan hal-hal yang sangat pribadi lainnya. Satu saja yang tak mungkin tersentuh saat rezim Soeharto masih bercokol kokoh, yaitu kritik dan saran terhadap pemerintah.
Menyaksikan pers seperti ini, Jakob Oetomo kemudian mengajukan pertanyaan kritis kepada publik, mengapa media massa selalu menyuguhkan segala hal tiap harinya? Mengapa kesedihan, kegembiraan, kelucuan dan kekonyolan selalu datang menghampiri masyarakat di ruang-ruang pribadi, di ruang kantor, lembaga pendidikan atau di saat para wakil rakyat bersidang. Mungkin orang hanya akan menjawab bahwa semuanya sengaja disajikan supaya media massa dianggap menarik sehingga diminati masyarakat luas. Jawaban itu memang tidak salah, namun tidak memuaskan. Kalau media massa ingin mengambil minat mayoritas masyarakat sesungguhnya tidak perlu menyajikan segala hal, cukup saja misalnya menyajikan sensualitas, mistik atau kekerasan saja. Untuk kondisi masyarakat kita sudah cukup banyak peminatnya. Kenyataannya tidak demikian, media massa popular pun tetap saja selalu menyajikan hal-hal lain seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan yang lainnya.
Isi media massa yang bermacam-macam itu akan lebih memadai kata Jakob (1989), jika dijelaskan dari pertumbuhan atau asal-usul suratkabar itu sendiri. Banyak ungkapan dipakai oleh para ahli untuk menunjukkan asal-usul pers. Di antaranya yang cukup ekpresif adalah ungkapan sosiolog Kanada, McLuhan. Ia menyebut pers dan media massa uumumnya sebagai the extension of man, ekstensi manusia. Kodrat pembawaan dan kebutuhan esensial manusia adalah berkomunikasi. Ia menyatakan diri, ia berbicara, ia menerima pesan dan menyampaikan pesan, ia berdialog, ia menyerap yang dilihat dan didengarnya, ia berada dalam satu lingkungan dan bercengkraman dalam lingkungan dan dengan proses itu, ia menyatakan dan mengembangkan perikehidupannya yang bermasyarakat.
Pers atau media massa menjadi hasil karya budaya masyarakat manusia yang semakin berkembang dan meluas, sehingga keperluan berekspresi dan berkomunikasi tidak lagi memadai jika tidak dibantu oleh instrument yang sanggup menyampaikan pesan secara serentak, cepat, menjangkau luas. Instrument itu adalah media massa.
Karena isi ekspresi manusia yang bermasyarakat adalah aneka macam, menyangkut segala bidang kehidupan yang menjadi minatnya, maka media massa pun memberikan isi yang beraneka ragam.
Dari gejala nyata dan latar belakangnya, ingin ditunjukkan suatu titik temu yang mendasarkan antara pers dan masyarakat. Dengan titik temu itu akan ditelusuri materi, kemudian juga relasi dan struktur yang membangun pers menjadi sebuah lembaga kemasyarakatan.



Teori Pers
Banyaknya media massa yang ada di dunia ini, paling tidak kita dapat membaca keberadaannya melalui empat teori pers (four theories of the press) yang ditawarkan Siebert dan Peterson.
Pertama, authoritarian theory (teori pers otoriter), yang diakui sebagai teori pers paling tua yang berasal dari abad ke 16. Teori ini berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan secara absolut. Kebenaran hanya berada di segelintir orang yang berada di puncak kekuasaan. Keberadaan media massa sebagai media pendukung kebijakan pemerintah yang otoriter itu. Media massa selama keberadaannya berada dalam bayang-bayang penguasa yang ketat. Sejak kelahirannya media massa mengalami masa yang amat sulit, dan ketika di perjalanannya media massa mendapat sonsor yang sangat ketat.
Kedua, libertarian theory (teori pers bebas), yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 19. Teori ini memposisikan manusia sebagai mahluk yang bebas dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Pers menjadi mitra dalam proses pencarian kebenaran, bukan sebagai alat pemerintah. Jadi, pers berfungsi sebagai pengawas pemerintah merupakan tuntutan dari teori ini.
Ketiga, social responsibility theory (teori pers bertanggung jawab sosial). Teori ini dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Oleh karenanya paling tidak ada lima prasyarat bagi pers yang memiliki tanggungjawab kepada masyarakat.
Media harus menyajikan berita-berita yang dapat dipercaya, lengkap dan cerdas juga memberikan makna.
Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik
Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat.
Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
Media harus menyajikan akses penuh terhadap informassi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat.
Keempat, the Soviet communist theory (teori pers komunis Soviet). Teori ini baru tumbuh dua tahun setelah Rovolusi Oktober 1917 di Rusia dan berakar pada teori pers penguasa atau authoritarian theory. Sebanyak 10-11 negara yang dulu berada di bawah payung kekuasaan Uni Republik Soviet menganut system pers ini. System pers ini menopang kehidupan system sosialis Soviet Rusia dan memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala kegiatan sebagaimana biasanya terjadi dalam kehidupan komunis. Sebab itu, di Negara-negara tersebut tidak terdapat pers bebas, yang ada hanya pers pemerintah. Segala sesuatu yang memerlukan keputusan dan penetapan umumnya dilakukan oleh para pejabat pemerintah sendiri.
Fungsi Pers
Sebagai masyarakat informatif, manusia selalu menuntut sebuah informasi atas berbagai hal yang ada di sekitarnya. Hak mendapatkan informasi ini paling tidak menemukan jawabannya ketika pers dengan ideal memerankan fungsinya dengan baik dan benar, seperti:
Fungsi informatif. Yaitu memberikan informasi atau berita kepada khalayak ramai dengan teratur. Penekanan informasi adalah segala sesuatu yang dianggap penting menurut orang banyak.
Fungsi kontrol. Pers yang bertanggung jawab adalah mereka yang melakukan koreksi dan menginformasikan segala bentuk penyimpangan dan ketidak adilan yang terjadi kepada publik.
Fungsi interpretatif dan direktif. Yaitu memberikan interpretasi dan bimbingan kepada khalayak tentang suatu peristiwa.
Fungsi menghibur.
Fungsi regeneratif. Yaitu menceritakan bagaimana sesuatu itu dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia ini dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu itu diselesaikan, dan apa yang dianggap oleh dunia itu benar atau salah.
Fungsi pengawalan hak-hak warga Negara.
Fungsi ekonomi. Pers harus berperan dalam peningkatan perekonomian Negara dan masyarakat.
Fungsi swadaya. Pers berfungsi membangun kemandirian masyarakat agar tidak tergantung kepada pemerintah dan pihak lain.
Selain funsi-fungsi di atas, pers juga dalam pandangan Asep S. Muhtadi (1999), antara lain memiliki fungsi mempengaruhi. Masyarakat pembaca, pendengar, atau pun pemirsa, dapat dengan amat halus digerakkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Untuk menanamkan sikap pro ataupun kontra terhadap sesuatu objek, menumbuhkan kebencian, memupuk persahabatan, meningkatkan suhu peperangan, bahkan mungkin untuk meretas jalan menuju perdamaian, pers dapat memainkan perannya sebagai kekuatan yang independent.
Atau misalnya kita juga dapat melihat sejauhmana kekuatan pers dalam mencitrakan seseorang menjadi baik dan buruk. Kisah kemenangan Jimmy Carter di Amerika, popularitas politik Saddam Hussein di Irak pada masa awal kejayaannya, tumbangnya kekuatan Marcoss di Filifina, atau rontoknya kekuasaan Orde Baru di Indonesia, tidak luput dari peran pers sebagai pembentuk para penguasa tersebut. Akhir-akhir ini, bagaimana sulitnya orang membersihkan dirinya, ketika media (barat) sudah menyatakan seseorang itu adalah teroris.
Analisis Media
Media massa menurut Eriyanto (2002), pada umumnya dapat dibaca melalui dua perspektif. Pertama, positivis. Menurut pendekatan ini media merupakan saluran pesan. Ada fakta riil yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal. Berta adalah cermin dan refleksi dari kenyataan, karena itu, berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput.
Kedua, konstruksionis. Menurut konstruksionis, media merupakan agen konstruksi pesan. Fakta yang ada dalam media tiada lain merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks tertentu. Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Karena berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas realitas.
Pandangan yang hampir sama juga Eriyanto paparkan dalam bukunya Analisis Wacana (2001). Di sini, Eriyanto menyampaikan dua perspektif yang saling berhadapan, yaitu antara pandangan pluralis dengan pandangan kritis. Dalam pandangan pluralis, berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Oleh karena itu, berita heruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput. Sedangkan posisi media sendiri merupakan sarana yang bebas dan netral tempat semua kelompok masyarakat saling berdiskusi yang tidak dominan.
Sedangkan dalam pandangan kritis, berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang terbentuk hanya cermin dari kepentingan kekuatan dominan. Sedangkan media sesungguhnya bukan milik publik, tetapi dikuasai oleh kelompok dominan dan menjadi sarana untuk memojokan kelompok lain, sehingga sulit untuk berdiri secara netral dan independent.

Corak Pers Mahasiswa
Pers Mahasiswa merupakan bagian kecil dari sebuah arus besar dunia pers nasional, bahkan dunia. Pers mahasiswa selalu berada pada pojok ruang sempit yang dinamakan kampus. Namun keberadannya, pers yang memiliki segmen tersendiri ini memiliki peluang lebih di banding pers umum dengan mengambil segmen plural.
Karenanya, wawasan tentang pers, fungsi dan analisis tentang pers di atas, dimaksudkan untuk membaca sebenarnya ke arah mana arus pers kampus ini akan dibawa. Walaupun pada kenyataannya, pers mahasiswa harus berjuang lebih karena menghadapi tantangan yang tidak ringan, seperti:
Arus eksternal. Arus ini senantiasa mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat kampus, sehingga pengelola pers mahasiswa harus berfikir ulang tentang orientasi persnya. Pragmatisme dan hedonisme hari ini bukan monopoli masyarakat borjuis dan tak berpendidikan, tetapi juga para mahasiswa dan mungkin sebagian dosennya. Pengaruh ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap media baca yang diminati mahasiswa. Walaupun tentu saja perubahan minat baca inipun masih dianggap lumayan dibanding dengan menurunnya minat baca mahasiswa karena lebih tertarik untuk belanja dan memanjakan diri.
Tantangan internal. Sebagai bagian dari sebuah entitas kampus, pers mahasiswa sesungguhnya berada pada sebuah Negara kecil sehingga sangat tergantung kepada kebijakan pimpinan "negara" itu, hingga segala sesuatu yang ada di dalamnya.
Dana. Tingkat ketergantungan pers mahasiswa terhadap rektorat biasanya begitu tinggi, sebab anggaran penerbitan menjadi bagian dari beban rektorat. Pada satu sisi, system pendanaaan seperti ini tentu saja plus minus, plusnya tidak usah mencari dana dari luar, sedangkan minusnya, tidak memiliki tingkat independensi, sehingga berpotensi untuk mengkebiri sisi-sisi idealisme per situ sendiri.
Profesionalisme. Sebagai pers yang mengharapkan partisipasi mahasiswa, pers kampus akan menemukan beberapa kendala pada sisi SDM. Mereka biasanya kalau tidak bekerja separuh waktu, juga terancam oleh hilangnya para pengelola di tengah jalan karena habis masa kuliah. Pergantian SDM yang terlalu cepat, akan mengakibatkan kepada kualitas dan profesionalisme pers kampus.
Pada prinsipnya, pers mahasiswa harus tetap mempertahankan kehadirannya sebagai bagian dari alternatif bacaan mahasiswa dengan coraknya yang khas. Dengan mengambil segmentasi mahasiswa, sesungguhnya pers mahasiswa sudah dapat menemukan sebuah pasar yang khas dan tidak dimiliki pers secara umum. Tingkat pendidikan yang tinggi bagi segmen pers mahasiswa dalah nilai plus yang harus dibaca sebagai modal awal untuk menentukan visi media tersebut.
Karenanya, pers mahasiswa tidak boleh kehilangan nilai alternatifnya. Nilai alternatif ini akan semakin kokoh jika para insan pers mahasiswa tidak mudah tergiur oleh konten media secara umum – walaupun harus tahu – yang memiliki segmen masyarakat umum. Nilai alternatif pers kampus juga harus dipandang sebagai bentuk sarana mahasiswa untuk melakukan sebuah perubahan sosial sesuai dengan fungsi mahasiswa itu sendiri yaitu sebagai agen perubahan sosial (agen of social change). Sedangkan untuk melakukan seuah perubahan sosial, dibutuhkan sebuah amunisi, dan amunisi paling penting bagi mahasiswa adalah idealisme dan intelektualisme transformatif, bukan idealisme dan intelektualisme singgasana yang tak pernah menyentuh relitas. Pada ranah inilah saya kira pers kampus harus berperan, bukannya menyajikan kegenitan, gosip dan kecengengan.
Pilihan pers mahasiswa
Mengikuti arus pasar (mahasiswa)
Corak pers kampus yang akan muncul adalah warna kelokalan masyarakat kampus. Resikonya adalah kesulitan pada tingkat penenaman nilai-nilai dan idealisme kemahasiswaan sebagai mainstrem gerakan mahasiswa.
Membentuk pasar
Corak pers kampus yang akan mucul adalah pers mahasiswa yang sarat dengan idealisme dan nilai-nilai intelektualitas. Pers mendorong untuk terbangunnya corak kemahasiswaan yang sarat ilmu dan pro terhadap rakyat, gandrung keadilan dan melawan segala bentuk ketidak adilan dan hegemoni kamun penguasa.
Karakter pers mahasiswa
Radikal
Intelektual
Populer
PR Pers mahasiswa
Menentukan identitas pers mahasiswa
Mencari investor independent (non rektorat), baik iklan perusahaan atau perseorangan yang tidak ada kaitannya dengan kebijakan kampus
Melatih SDM agar berkualitas dan berkelanjutan.

Mencari Identitas Pers Mahasiswa

Jauh sebelum era reformasi, media massa sudah memiliki karakter keragaman. Setiap harinya, masyarakat senantiasa mendapatkan informasi baik isu tentang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, seni, gosip, lingkungan, kesehatan, dan hal-hal yang sangat pribadi lainnya. Satu saja yang tak mungkin tersentuh saat rezim Soeharto masih bercokol kokoh, yaitu kritik dan saran terhadap pemerintah.
Menyaksikan pers seperti ini, Jakob Oetomo kemudian mengajukan pertanyaan kritis kepada publik, mengapa media massa selalu menyuguhkan segala hal tiap harinya? Mengapa kesedihan, kegembiraan, kelucuan dan kekonyolan selalu datang menghampiri masyarakat di ruang-ruang pribadi, di ruang kantor, lembaga pendidikan atau di saat para wakil rakyat bersidang. Mungkin orang hanya akan menjawab bahwa semuanya sengaja disajikan supaya media massa dianggap menarik sehingga diminati masyarakat luas. Jawaban itu memang tidak salah, namun tidak memuaskan. Kalau media massa ingin mengambil minat mayoritas masyarakat sesungguhnya tidak perlu menyajikan segala hal, cukup saja misalnya menyajikan sensualitas, mistik atau kekerasan saja. Untuk kondisi masyarakat kita sudah cukup banyak peminatnya. Kenyataannya tidak demikian, media massa popular pun tetap saja selalu menyajikan hal-hal lain seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan yang lainnya.
Isi media massa yang bermacam-macam itu akan lebih memadai kata Jakob (1989), jika dijelaskan dari pertumbuhan atau asal-usul suratkabar itu sendiri. Banyak ungkapan dipakai oleh para ahli untuk menunjukkan asal-usul pers. Di antaranya yang cukup ekpresif adalah ungkapan sosiolog Kanada, McLuhan. Ia menyebut pers dan media massa uumumnya sebagai the extension of man, ekstensi manusia. Kodrat pembawaan dan kebutuhan esensial manusia adalah berkomunikasi. Ia menyatakan diri, ia berbicara, ia menerima pesan dan menyampaikan pesan, ia berdialog, ia menyerap yang dilihat dan didengarnya, ia berada dalam satu lingkungan dan bercengkraman dalam lingkungan dan dengan proses itu, ia menyatakan dan mengembangkan perikehidupannya yang bermasyarakat.
Pers atau media massa menjadi hasil karya budaya masyarakat manusia yang semakin berkembang dan meluas, sehingga keperluan berekspresi dan berkomunikasi tidak lagi memadai jika tidak dibantu oleh instrument yang sanggup menyampaikan pesan secara serentak, cepat, menjangkau luas. Instrument itu adalah media massa.
Karena isi ekspresi manusia yang bermasyarakat adalah aneka macam, menyangkut segala bidang kehidupan yang menjadi minatnya, maka media massa pun memberikan isi yang beraneka ragam.
Dari gejala nyata dan latar belakangnya, ingin ditunjukkan suatu titik temu yang mendasarkan antara pers dan masyarakat. Dengan titik temu itu akan ditelusuri materi, kemudian juga relasi dan struktur yang membangun pers menjadi sebuah lembaga kemasyarakatan.



Teori Pers
Banyaknya media massa yang ada di dunia ini, paling tidak kita dapat membaca keberadaannya melalui empat teori pers (four theories of the press) yang ditawarkan Siebert dan Peterson.
Pertama, authoritarian theory (teori pers otoriter), yang diakui sebagai teori pers paling tua yang berasal dari abad ke 16. Teori ini berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan secara absolut. Kebenaran hanya berada di segelintir orang yang berada di puncak kekuasaan. Keberadaan media massa sebagai media pendukung kebijakan pemerintah yang otoriter itu. Media massa selama keberadaannya berada dalam bayang-bayang penguasa yang ketat. Sejak kelahirannya media massa mengalami masa yang amat sulit, dan ketika di perjalanannya media massa mendapat sonsor yang sangat ketat.
Kedua, libertarian theory (teori pers bebas), yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 19. Teori ini memposisikan manusia sebagai mahluk yang bebas dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Pers menjadi mitra dalam proses pencarian kebenaran, bukan sebagai alat pemerintah. Jadi, pers berfungsi sebagai pengawas pemerintah merupakan tuntutan dari teori ini.
Ketiga, social responsibility theory (teori pers bertanggung jawab sosial). Teori ini dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Oleh karenanya paling tidak ada lima prasyarat bagi pers yang memiliki tanggungjawab kepada masyarakat.
Media harus menyajikan berita-berita yang dapat dipercaya, lengkap dan cerdas juga memberikan makna.
Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik
Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat.
Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
Media harus menyajikan akses penuh terhadap informassi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat.
Keempat, the Soviet communist theory (teori pers komunis Soviet). Teori ini baru tumbuh dua tahun setelah Rovolusi Oktober 1917 di Rusia dan berakar pada teori pers penguasa atau authoritarian theory. Sebanyak 10-11 negara yang dulu berada di bawah payung kekuasaan Uni Republik Soviet menganut system pers ini. System pers ini menopang kehidupan system sosialis Soviet Rusia dan memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala kegiatan sebagaimana biasanya terjadi dalam kehidupan komunis. Sebab itu, di Negara-negara tersebut tidak terdapat pers bebas, yang ada hanya pers pemerintah. Segala sesuatu yang memerlukan keputusan dan penetapan umumnya dilakukan oleh para pejabat pemerintah sendiri.
Fungsi Pers
Sebagai masyarakat informatif, manusia selalu menuntut sebuah informasi atas berbagai hal yang ada di sekitarnya. Hak mendapatkan informasi ini paling tidak menemukan jawabannya ketika pers dengan ideal memerankan fungsinya dengan baik dan benar, seperti:
Fungsi informatif. Yaitu memberikan informasi atau berita kepada khalayak ramai dengan teratur. Penekanan informasi adalah segala sesuatu yang dianggap penting menurut orang banyak.
Fungsi kontrol. Pers yang bertanggung jawab adalah mereka yang melakukan koreksi dan menginformasikan segala bentuk penyimpangan dan ketidak adilan yang terjadi kepada publik.
Fungsi interpretatif dan direktif. Yaitu memberikan interpretasi dan bimbingan kepada khalayak tentang suatu peristiwa.
Fungsi menghibur.
Fungsi regeneratif. Yaitu menceritakan bagaimana sesuatu itu dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia ini dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu itu diselesaikan, dan apa yang dianggap oleh dunia itu benar atau salah.
Fungsi pengawalan hak-hak warga Negara.
Fungsi ekonomi. Pers harus berperan dalam peningkatan perekonomian Negara dan masyarakat.
Fungsi swadaya. Pers berfungsi membangun kemandirian masyarakat agar tidak tergantung kepada pemerintah dan pihak lain.
Selain funsi-fungsi di atas, pers juga dalam pandangan Asep S. Muhtadi (1999), antara lain memiliki fungsi mempengaruhi. Masyarakat pembaca, pendengar, atau pun pemirsa, dapat dengan amat halus digerakkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Untuk menanamkan sikap pro ataupun kontra terhadap sesuatu objek, menumbuhkan kebencian, memupuk persahabatan, meningkatkan suhu peperangan, bahkan mungkin untuk meretas jalan menuju perdamaian, pers dapat memainkan perannya sebagai kekuatan yang independent.
Atau misalnya kita juga dapat melihat sejauhmana kekuatan pers dalam mencitrakan seseorang menjadi baik dan buruk. Kisah kemenangan Jimmy Carter di Amerika, popularitas politik Saddam Hussein di Irak pada masa awal kejayaannya, tumbangnya kekuatan Marcoss di Filifina, atau rontoknya kekuasaan Orde Baru di Indonesia, tidak luput dari peran pers sebagai pembentuk para penguasa tersebut. Akhir-akhir ini, bagaimana sulitnya orang membersihkan dirinya, ketika media (barat) sudah menyatakan seseorang itu adalah teroris.
Analisis Media
Media massa menurut Eriyanto (2002), pada umumnya dapat dibaca melalui dua perspektif. Pertama, positivis. Menurut pendekatan ini media merupakan saluran pesan. Ada fakta riil yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal. Berta adalah cermin dan refleksi dari kenyataan, karena itu, berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput.
Kedua, konstruksionis. Menurut konstruksionis, media merupakan agen konstruksi pesan. Fakta yang ada dalam media tiada lain merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks tertentu. Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Karena berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas realitas.
Pandangan yang hampir sama juga Eriyanto paparkan dalam bukunya Analisis Wacana (2001). Di sini, Eriyanto menyampaikan dua perspektif yang saling berhadapan, yaitu antara pandangan pluralis dengan pandangan kritis. Dalam pandangan pluralis, berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Oleh karena itu, berita heruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput. Sedangkan posisi media sendiri merupakan sarana yang bebas dan netral tempat semua kelompok masyarakat saling berdiskusi yang tidak dominan.
Sedangkan dalam pandangan kritis, berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang terbentuk hanya cermin dari kepentingan kekuatan dominan. Sedangkan media sesungguhnya bukan milik publik, tetapi dikuasai oleh kelompok dominan dan menjadi sarana untuk memojokan kelompok lain, sehingga sulit untuk berdiri secara netral dan independent.

Corak Pers Mahasiswa
Pers Mahasiswa merupakan bagian kecil dari sebuah arus besar dunia pers nasional, bahkan dunia. Pers mahasiswa selalu berada pada pojok ruang sempit yang dinamakan kampus. Namun keberadannya, pers yang memiliki segmen tersendiri ini memiliki peluang lebih di banding pers umum dengan mengambil segmen plural.
Karenanya, wawasan tentang pers, fungsi dan analisis tentang pers di atas, dimaksudkan untuk membaca sebenarnya ke arah mana arus pers kampus ini akan dibawa. Walaupun pada kenyataannya, pers mahasiswa harus berjuang lebih karena menghadapi tantangan yang tidak ringan, seperti:
Arus eksternal. Arus ini senantiasa mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat kampus, sehingga pengelola pers mahasiswa harus berfikir ulang tentang orientasi persnya. Pragmatisme dan hedonisme hari ini bukan monopoli masyarakat borjuis dan tak berpendidikan, tetapi juga para mahasiswa dan mungkin sebagian dosennya. Pengaruh ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap media baca yang diminati mahasiswa. Walaupun tentu saja perubahan minat baca inipun masih dianggap lumayan dibanding dengan menurunnya minat baca mahasiswa karena lebih tertarik untuk belanja dan memanjakan diri.
Tantangan internal. Sebagai bagian dari sebuah entitas kampus, pers mahasiswa sesungguhnya berada pada sebuah Negara kecil sehingga sangat tergantung kepada kebijakan pimpinan "negara" itu, hingga segala sesuatu yang ada di dalamnya.
Dana. Tingkat ketergantungan pers mahasiswa terhadap rektorat biasanya begitu tinggi, sebab anggaran penerbitan menjadi bagian dari beban rektorat. Pada satu sisi, system pendanaaan seperti ini tentu saja plus minus, plusnya tidak usah mencari dana dari luar, sedangkan minusnya, tidak memiliki tingkat independensi, sehingga berpotensi untuk mengkebiri sisi-sisi idealisme per situ sendiri.
Profesionalisme. Sebagai pers yang mengharapkan partisipasi mahasiswa, pers kampus akan menemukan beberapa kendala pada sisi SDM. Mereka biasanya kalau tidak bekerja separuh waktu, juga terancam oleh hilangnya para pengelola di tengah jalan karena habis masa kuliah. Pergantian SDM yang terlalu cepat, akan mengakibatkan kepada kualitas dan profesionalisme pers kampus.
Pada prinsipnya, pers mahasiswa harus tetap mempertahankan kehadirannya sebagai bagian dari alternatif bacaan mahasiswa dengan coraknya yang khas. Dengan mengambil segmentasi mahasiswa, sesungguhnya pers mahasiswa sudah dapat menemukan sebuah pasar yang khas dan tidak dimiliki pers secara umum. Tingkat pendidikan yang tinggi bagi segmen pers mahasiswa dalah nilai plus yang harus dibaca sebagai modal awal untuk menentukan visi media tersebut.
Karenanya, pers mahasiswa tidak boleh kehilangan nilai alternatifnya. Nilai alternatif ini akan semakin kokoh jika para insan pers mahasiswa tidak mudah tergiur oleh konten media secara umum – walaupun harus tahu – yang memiliki segmen masyarakat umum. Nilai alternatif pers kampus juga harus dipandang sebagai bentuk sarana mahasiswa untuk melakukan sebuah perubahan sosial sesuai dengan fungsi mahasiswa itu sendiri yaitu sebagai agen perubahan sosial (agen of social change). Sedangkan untuk melakukan seuah perubahan sosial, dibutuhkan sebuah amunisi, dan amunisi paling penting bagi mahasiswa adalah idealisme dan intelektualisme transformatif, bukan idealisme dan intelektualisme singgasana yang tak pernah menyentuh relitas. Pada ranah inilah saya kira pers kampus harus berperan, bukannya menyajikan kegenitan, gosip dan kecengengan.
Pilihan pers mahasiswa
Mengikuti arus pasar (mahasiswa)
Corak pers kampus yang akan muncul adalah warna kelokalan masyarakat kampus. Resikonya adalah kesulitan pada tingkat penenaman nilai-nilai dan idealisme kemahasiswaan sebagai mainstrem gerakan mahasiswa.
Membentuk pasar
Corak pers kampus yang akan mucul adalah pers mahasiswa yang sarat dengan idealisme dan nilai-nilai intelektualitas. Pers mendorong untuk terbangunnya corak kemahasiswaan yang sarat ilmu dan pro terhadap rakyat, gandrung keadilan dan melawan segala bentuk ketidak adilan dan hegemoni kamun penguasa.
Karakter pers mahasiswa
Radikal
Intelektual
Populer
PR Pers mahasiswa
Menentukan identitas pers mahasiswa
Mencari investor independent (non rektorat), baik iklan perusahaan atau perseorangan yang tidak ada kaitannya dengan kebijakan kampus
Melatih SDM agar berkualitas dan berkelanjutan.